As-Siba’i lahir di Himsh, Syria, tahun 1915. Keluarganya terpandang sebagai keluarga ilmuwan. Ayah dan datuknya penanggung jawab khutbah di masjid Jami’ di Himsh, dari generasi ke generasi.
Ketika As-Siba’i bermaksud melamar seorang gadis, keluarga yang mengantarkan As-Siba’i ke rumah sang gadis mengatakan jika As-Siba’i sibuk mengurus dakwah Islam, jadi kemungkinan waktu luangnya sedikit untuk keluarga; apakah dengan keadaan seperti itu keluarga sang gadis akan tetap menerimanya? Tak tahunya pihak calon mempelai wanita setuju.
Waktu umurnya baru enam belas tahun, As-Siba’I sudah terlibat dalam melawan Peranchis yang waktu itu tengah “mampir” di Suriah. Gara-gara memimpin demo, dan mengedarkan risalah, dia ditangkap pada tahun 1931 oleh Peranchis. Setelah dibebaskan, dia kembali ditangkap gara-gara pidato-pidatonya yang dapat membakar dan mengobarkan semangat massa buat melawan Peranchis.
Tahun 1933, Musthafa As-Siba’i pergi ke Mesir, menimba ilmu di Al-Azhar. Waktu kuliah inilah, As-Siba’i berkenalan dengan Hasan Al-Banna dan gerakan Ikhwan. As-Siba’i ikut ambil bahagian mendirikan cabang Ikhwan di Syria. Tahun 1945, As-Siba’i dipilih sebagai Muraqib ‘Am Ikhwanul Muslimin Syria.
Kenangan Bersama Imam Syahid Hasan Al-Bana
Pernah, ada kejadian yang menarik antara Imam Hasan Al-Banna dan As-Siba’i. Ikhwan mempunyai sebuat akhbar, namanya Al-Ikhwanul Muslimun, dan suatu kali akhbar itu memuat foto Hasan Al-Banna dan Musthafa As-Siba’i, dengan komentar di bawah foto itu, “Panglima dan Tentera”. Langsung saja Imam Hasan Al-Banna menulis surat buat pemrednya, komplain soal tulisan itu.
Imam Al-Banna mengatakan, “Jika yang Anda maksud dengan kata panglima ialah Ustadz Musthafa As-Siba’i dan kata tentara ialah hamba Allah yang lemah ini yang setiap hari dan saat menganggap dirinya tentera dakwah kebenaran yang paling kecil, maka bererti anda memberi predikat sangat baik dan terima kasih saya sampaikan kepada anda. Jika yang anda maksud ialah makna yang cepat tertangkap di benak ketika pertama kali membacanya dan mengetahui posisi Mursyid dan Muraqib, maka saya berlindung diri kepada Allah dari apa yang anda lakukan dan minta maaf kepada Ikhwan atas apa yang anda tulis. Saya berharap permainan jurnalistik seperti ini tidak menjerumuskan anda pada ketidaktenteraman jiwa. Saya memohon kepada Allah semoga memberi taufik kepada kita menuju kebaikan, meluruskan langkah kita menuju apa saja yang mengundang kecintaan dan keredhaan-Nya, serta menyatukan hati untuk memperjuangkan kebaikan bagi tanah air tercinta ini.” Itu adalah hal yang tak dapat dilupakan siapapun ketika itu, termasuk As-Siba’i.
Tahun 1944, As-Siba’i pergi menunaikan haji untuk yang pertama kalinya. Tahun 1947, ia menerbitkan akhbar Al-Manar, walaupun dibredel oleh Husni Az-Zaim. Tahun yang sama, ia mendapat gelar doktor dalam perundang-undangan Islam dan sejarahnya, disertasinya berjudul As-Sunnah wa Makanatuha fit Tasyri’ Al-Islami.
Sumbangsihnya untuk Islam
Di tahun 1948, As-Siba’I kembali ke Syria. Beliau dan anggota-anggota Ikhwan lain cuba memasukkan materi tarbiyah di kurikulum pendidikan. Beliau pun cuba membuka Fakulti Syariah di Universiti Syariah tahun 1955 dan jadi dekannya untuk pertama kali. Mulailah As-Siba’i merintis penyusunan ensiklopedia Fiqih Islam yang meliabtkan ulama dari penjuru dunia Islam untuk menyajikan Fiqih Islam dengan format baru, sunnah, fiqih ulama salaf, dan ijtihad ulama kontempori.
Tahun 1949, As-Siba’i terpilih jadi wakil kota Damaskus, padahal dia orang Himsh. Setahun kemudian, ia dinobatkan menjadi guru besar Fakultas Hukum Universiti Syria.
Siba’i juga menuntut kepada pemerintah Suriah agar mengizinkan ia dan Ikhwan berpartisipasi dalam perang di Mesir yang tengah melawan Inggeris di Terusan Suez. Tentu saja, pemerintah Syria langsung menangkap Musthafa As-Siba’i seterusnya membubarkan Ikhwanul Muslimin Syria. Belum lagi perintah pemecatan As-Siba’i dari Universiti Syria dan terus dideportasi ke Lebanon.
Tahun 1953, dalam muktamar umum Islam di Al-Quds, As-Siba’i jadi wakil dari Syria. Tahun 1954, As-Siba’i hadir di muktamar Islam-Kristian di kota Handun, Lebanon, tujuannya buat meng-counter musuh-musuh Islam dari kalangan orientalis dan orang-orang Kristian.
Sampai tahun 1957, As-Siba’i banyak melakukan perjalanan ke negara-negara Eropah, dari Italia Inggeris, Irlandia, Belgium, Belanda, Denmark, Norway, Sweden, Poland, Jerman, Swiss, Perancis, dan Rusia untuk melihat kurikulum studi Islam di negara-negara tersebut. Di sinilah, As-Siba’i menyingkap habis kesalahan-kesalahan kaum orientalis, baik secara ilmiah atau historis.
Semakin tua semakin produktif
Di tahun yang sama, As-Siba’i sudah mulai sakit-sakit. Uniknya, justru di masa-masa sakit ini, As-Siba’i malah produktif. Sehari sebelum meninggal ia menulis tiga buku yaitu Al-Ulama’ Al-Auliya’, Al-Ulama’ Al-Mujahidun, dan Al-Ulama Asy-Syuhada’.
Tujuh tahun lamanya, Musthafa melewatkan hari-hari bersama penyakitnya, akhirnya hari Sabtu tanggal 3 Oktober 1964, ia meninggal dunia di kota Himsh. Jenazahnya diiringi rombongan besar orang dan disholatkan di Masjid Jami’ Al-Umawi, Damaskus.
Ada perkataan yang menarik dari Dr. Husni Huwaidi tentang kondisi As-Siba’i waktu sakit. “Saya melihatnya ketika sakit, bersandar pada tongkat, berjalan di pagi dan petang hari menuju masjid, pada saat orang-orang sihat dan kuat enggan pergi ke masjid. Betapa sedikitnya orang sakit dan lumpuh, namun ia lebih kuat dari pedang terhunus. Kelestariannya dalam jihad, betapapun ia lumpuh, menderita sakit jantung dan hipertensi, tidak lain dalil nyata dan hujjah jelas bahawa karakter orang ini ialah jihad dan tabiatnya perjuangan, nalurinya pengorbanan, fitrahnya keberanian dan patriotisme. Bagaimana mungkin riya’ mendapatkan peluang menyusup ke hatinya, futur menemukan jalan mengusik jiwanya dan keraguan menemukan lorong merusak tekadnya? Maha suci Allah yang memberi karunia kepadanya lalu ia mensedekahkannya dan menimpakan ujian kepadanya lalu menjadikannya redha pada ujian.”
Dr Mustafa As-Siba'ie, Ulama dan Mujahid Syria
Sesungguhnya ada dua macam cinta yang tak dapat menyatu;
Cinta Allah dan cinta kemaksiatan. Cinta Jihad dan cinta kehidupan. Cinta pengorbanan dan cinta harta kekayaan. Cinta kebenaran dan cinta kepemimpinan. Cinta perdamaian dan cinta untuk membalas dendam. Cinta perbaikan “ishlah” dan cinta keselamatan. Cinta perjuangan dan cinta untuk hidup berleha-leha. Cinta keadilan dan cinta penghambaan. Cinta rakyat dan cinta thogut. Cinta untuk senantiasa berbuat baik dan cinta untuk berbuat curang (Musthafa Siba’i).
Begitu mendalam dan penuh makna untaian kata yang terucap dari bibir mujahid Suriah ini. Hikmah yang muncul dari perenungan lama dalam badai rintangan dakwah yang begitu panjang. Ia tahu betul bahwa dunia memang sudah diciptakan berpasangan. Dari kontemplasi terhadap pergumulan haq dan bathil lahirlah kata-kata monumental ini. Dengan mantap, iapun memilih berjuang dan berkorban demi tujuan tunggal, ridha Allah Swt..
Mutiara Melahirkan Mutiara
Tahun 1915, kota Hims di daratan Syam menjadi saksi lahirnya sosok bayi mungil yang kelak ternyata menjadi sosok besar yang disegani. Musthafa bin Husni As-Siba`i, begitu nama lengkapnya. Ia tumbuh di tengah keluarga yang agamis. Ayah dan kakeknya adalah khatib kondang di mesjid terkenal di kota Hims.
Ia amat terwarnai oleh sosok sang ayah, Syeikh Husni As-Siba`i. Seorang ulama yang gigih menantang kaum imperialis. Musthafa As-Siba`i pun kerap mengikuti pengajian yang dibawakan oleh ayahnya. Pengajian ini diikuti oleh ulama-ulama Suriah waktu itu. Seperti, Thahir Ar-Rais, Said Al-Maluhi, Faik Al-Atasi dan Raghib Al-Wafai. Suasana perjuangan inilah yang membawa Siba`i menjadi sosok pejuang bertalenta tinggi.
Mengais Ilmu Sepanjang Hayat
Siba`i kecil melewati pendidikan pertama dilingkungan keluarga. Ia menghafal Al-Quran dan mempelajari pondasi dasar ilmu-ilmu Islam dibawah asuhan sang ayah. Setelah menyelesaikan sekolah formal tingkat dasar dengan nilai yang memuaskan, ia melanjutkan ke sekolah tingkat atas syariah.
Karena dorongan dari orang tuanya, Siba`i meneruskan perjalanannya dalam mengais ilmu. Kala berusia delapan belas tahun, ia meneruskan pendidikannya ke Universitas Al-Azhar, Mesir. Ia mengambil spesialisasi fikih, selanjutnya ke Usuluddin, dan meraih ijazah dengan predikat yang memuaskan. Di universitas yang sama ia melanjutkan program Doktoralnya. Pada tahun 1949 ia dapat meraih gelar Doktor di bidang Syariah Islamiyah dengan predikat summa cumlaude. Disertasinya berjudul “As-Sunnah Wa makânatuhâ Fî At Tasyrî’”.
Tatkala menempuh pendidikan di Mesir ini, Skenario ilahi berlaku. ia menjalin hubungan harmonis dengan Imam Hasan Al-Banna, pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin. Keharmonisan itu terus berlanjut hingga Siba`i pulang ke tanah airnya.
Pada tahun 1942, para dai-dai Suriah berkumpul dan sepakat untuk berjuang di bawah bendera Ikwanul Muslimin. Tahun berikutnya para dai dan ulama Suriah sepakat untuk mengangkat Siba`i sebagai pengawas umum Ikwanul Muslimin untuk Suriah
Kiprahnya dalam dunia akademis tidak berhenti. Ia dinobatkan sebagai guru besar di Fakultas Hukum Universitas Suriah pada tahun 1950. Siba`i pernah mengusulkan penyusunan ensiklopedia fikih yang ditampilkan dalam format baru. Ensiklopedi tersebut sekarang masih digarap oleh para ulama muslim dari seluruh dunia. Beliau pun berhasil memperjuangkan masuknya pelajaran pendidikan Islam dalam kurikulum pendidikan Suriah. Disamping membuka jurusan Syariah di Universitas Suriah (sekarang Universitas Damaskus).
Pada Tahun 1951, ia menghadiri muktamar Islam yang diadakan di Pakistan. Pada saat itu ia bersua dengan ulama dari penjuru negeri Islam. Tahun 1953, Siba`i dapat hadir dalam konfrensi Islam untuk pembebasan Al-Quds yang diadakan di kota Al Quds. Konferensi ini dihadiri oleh perwakilan Ikhwanul Muslimin dari seluruh negara Arab, juga para tokoh dunia Islam, termasuk Dr. Muhammad Natsir dari Indonesia. Pada tahun berikutnya, 1954 Siba`i tampil untuk mematahkan argumen kaum orientalis dan salibis dalam Mu’tamar Islam dan Kristen di Libanon.
Perjuangan Tak Bertepi
Dari awal, sibai’ muda berbeda dengan pemuda-pemuda kebanyakan. Kehidupan yang sulit dan keras, ditambah kekuatan imperialis yang masih merongrong kemerdekaan tanah airnya, mempengaruhi kepribadiaan dan pola berpikirnya. Sikap ksatria dan patriotik tertanam dalam pribadinya.
Di usia yang masih sangat belia, ia telah berani berkata lantang melawan kaum penjajah. Ia aktif dalam kegiatan merebut kemerdekaan. Tidak heran, pada tahun 1931 di usianya yang baru menginjak angka enam belas, Siba`i telah merasakan dinginnya dinding penjara untuk kali pertama. Ia ditahan penjajah Perancis dengan tuduhan mengkoordinir penyebaran selebaran yang mengkritik kebijakan Perancis.
Setelah bebas, perjuangan Siba`i tak pupus. Kali kedua ia dijebloskan ke dalam penjara oleh pihak Perancis, akibat khutbah jumatnya di Mesjid Raya Hims yang dianggap mengobarkan ruh jihad melawan penjajah. Penentangannya terhadap penjajahan ia buktikan dengan memimpin langsung perlawanan senjata pada tahun 1945.
Tatkala mengeyam pendidikan Al-Azhar. Ia bersama para rekan-rekannya turut andil dalam unjuk rasa menentang penjajahan Inggris. Akhirnya ia pun harus meringkuk dalam sel. Tiga bulan berlalu, ia dipindahkan ke penjara Palestina selama empat bulan. Setelah itu ia dibebaskan dengan jaminan. Ia tidak diperkenankan untuk kembali ke Mesir, karena dianggap pioner gerakan anti Inggris.
Jihad Palestina
Pada tahun 1948, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan sebuah keputusan busuk dengan membagi tanah Palestina menjadi dua bagian: Palestina dan Yahudi. Resolusi ini membuat bangsa-bangsa Arab memutuskan untuk menghadapi Yahudi dengan bahasa perang. Pada saaat itulah, Siba`i maju dan mengajak bangsanya untuk membela keadilan dan kebenaran. Ia memimpin bangsa Suriah melalui bagian selatan Suriah yang berbatasan dengan Palestina. Ia memimpin langsung perlawanan dengan membawa pasukan Ikwanul Muslimin Suriah. Ia terjun dengan semboyan ”Mati di jalan Allah adalah cita-cita tertinggi kami”.
Sepulangnya dari Palestina, jihad Siba`i pun terus berlanjut. Kali ini ia berjihad di Suriah dengan tulisan dan kata. Ia juga membina generasi rabbani dengan semangat juang membumikan ajaran ilahi di muka bumi.
Kiprah di Media Massa
Media massa merupakan salah satu jalan untuk memperjuangkan keinginan dan idealisme. Hal itu dipahami betul oleh Siba`i. Pada tahun 1947 ia menerbitkan surat kabar bernama “Al-Manâr”. Ia menjadikannya sebagai sarana penyebaran nilai-nilai Islam, sekaligus menggugah pembaca untuk mengerti akal bulus kaum imperialis. Surat kabar ini eksis selama dua tahun, sebelum dibredel oleh penguasa pada tahun 1949.
Pada tahun 1955, Siba`i kembali menerbitkan satu surat kabar mingguan yang bernama “Asy-Syihâb”, dan eksis hingga tahun 1958. Setelah itu ia masih banyak menulis makalah seputar politik, sosiologi, sejarah, dan pemikiran.
Pada tahun yang sama, 1955, ia dapat menerbitkan majalah “Al-Muslimûn”. Ia dinobatkan sebagai pimred hingga tahun 1958. Dalam perjalanannya, majalah ini berganti nama menjadi majalah “Hadhârah Al-Islâm.” Ia mempunyai obsesi agar majalah ini dapat menjadi batu loncatan dan kawah candradimuka untuk penggemblengan umat Islam berlandaskan Al-Quran dan Sunnah.
Mereka Bicara Tentangnya
Duta besar Yordania untuk Suriah, Dr. Muhammad Shubhi, mengatakan: “Sesungguhnya ia (Siba`i) bak lautan. Siapapun bisa menimba air darinya sesuka hati, tanpa mengurangi air itu.”
Syeikh Muhammad Husni An-Nadawi mengatakan: “Tak ada yang memungkiri bahwa Dr. Musthafa Siba`i adalah guru besar gerakan Islam dunia. Ia adalah seorang dai pilihan, serta ulama dari generasi gerakan awal.” Sungguh ia adalah sosok pejuang besar yang melahirkan karya besar.
Karya-Karya Fenomenalnya
Sebagai seorang penulis produktif, Siba`i telah menelurkan banyak karya. Diantara goresan tintanya adalah: As-sunnah wa Makânatuha Fi At-tasyrî’, Al-mar’ah Bainal Fiqh wal Qanûn, Hakazâ ‘Allamatnî Al-hayâh, As-sîrah An-nabawiyah Durûs wa ‘Ibar, Min Rawâi’i Hadâratinâ, ‘Uzhamâunâ Fi At-tarîkh, Ad-dîn wa Ad-daulah Fi Al-islâm, Al-isytisyrâq wa Al-musytasyriqûn, Jihâdunâ Fi Falistîn, Manhajunâ Fi Al-islhâh, As-shîra’Bainal Qalb wal `Aql, dan masih banyak lagi.
Perginya Reformis Hims
Pada hari Sabtu, 3 Oktober 1964, bertepatan dengan 27 Jumadil Ula 1384 H., dunia Islam berkabung. Pada usia empat puluh sembilah tahun, tokoh besar itu menghadap rabb-nya abadi. Ia pergi setelah melalui perjuangan dengan segudang jasa bagi umat Islam dunia. Semoga perjuangan dan pengorbanannya dapat kita jadikan suri tauladan, agar kejayaan Islam dapat kembali menyapa bumi. A’innâ yâ Rabb.
Muhammad Abu Dzar, Lc.
1 comment:
Informasi yang bagus dan bermanfaat, ya Akhi. KAlau boleh, saya mau copy untuk diletakkan di blog saya, dengan tetap mencantumkan nama Anda sebagai penulisnya. Terima kasih...!
Post a Comment